Kamis, 10 Februari 2011

Perguruan Tinggi dengan Status Non Akreditasi

I.  PENDAHULUAN

Bila dilihat kondisi objektif Pendidikan Tinggi hari ini, terjadi kenaikan kuantitas yang tajam baik dalam hal jumlah mahasiswa, dosen, maupun tenaga administratif. Kondisi ini telah membawa dampak pada pengelolaan Perguruan Tinggi kearah pengelolaan secara kuantitatif sehingga mendorong tumbuhnya universitas atau mass university yang “kuantitatifisme” yang pada gilirannya akan menimbulkan beragam permasalahan diantaranya sulitnya menegakkan etika akademis seperti :1). Jumlah dosen dan mahasiswa yang terlalu besar akan memperlemah hubungan keakraban yang pada akhirnya sulit untuk membentuk dan menghidupkan suasana ilmiah. 2). Terdapat persaan bangga, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa yang tergabung dalam universitas besar karena prestasi teman sejawatnya yang terkemuka (bukan dirinya) yang ditopang keterkaitan akademis dan masyarakat ilmiah lebih luas. 3). Harapan masyarakat terhadap Perguruan Tinggi atau universitas akan output yang berprestasi dan berdedikasi. 4). Setelah diadakan penilaian ternyata banyak Perguruan Tinggi yang belum terakreditasi atau masih mendapat nilai “D” dalam artian sebenarnya tidak boleh beropersi. 5). Perguruan Tinggi menjadi lahan bisnis yang konsumtif yang menawarkan gelar-gelar simbolik. 6). Manajemen yang amburadul membuat kualitas (mutu ilmiah) Perguruan Tinggi terpuruk lebih dalam.

Melihat hal tersebut di atas tenyata tidak sedikit Perguruan Tinggi di Indonesia baik Perguruan Tinggi Negeri Umum maupun Perguruan Tinggi Negeri bidang keagamaan yang belum terakriditasi apalagi perguruan Tinggi Swasta. Hal ini berarti begitu banyak perguruan tinggi yang tidak boleh beroperasi dalam penilaian BAN. (http://www.ban-pt.or.id)

Kebanyakan di negara berkembang, Perguruan Tinggi belum sepenuhnya dikatakan sebagai “Instrumen Pembangunan” dalam arti yang sebenarnya, tetapi masih banyak menjadi “Simbol Pembangunan” itu sendiri. Stigma kian memasyarakat dan semakin kuat karena Perguruan Tinggi masih terlalu dikontrol oleh negara maju, Pemerintah atau pihak Yayasan (Perguruan Tinggi Swasta) sehingga ia sulit menjadi jati dirinya sendiri yang dikarenakan intervensi yang berlebihan dari pihak-pihak yang merasa berhak untuk ikut campur tangan.

Manajemen yang tertutup (close management) sering kali menjadi kendala kemajuan bagi sebuah Perguruan Tinggi, karena kekuatan finansial lebih unggul dari kualitas Perguruan Tinggi itu sendiri. Kepemimpinan yang bersifat  kekeluargaan dan fasilitas yang kurang diperhatikan sering menjadi sorotan BAN dalam penilaian yang akhirnya menjatuhkan vonis non Akreditasi atau hanya memberi nilai “D” pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas maka dapat diidentifikasi berapa permasalahan yang mengakibatkan beberapa atau bahkan banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum atau tidak terakreditasi atau hanya mendapat nilai “D” dengan artian perguruan tinggi tersebut dinilai tidak boleh beroperasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Beberapa aspek yang menjadi acuan bagi BAN dalam melakukan penilaian dalam proses akreditasi perguruan tinggi adalah sebagai berikut : 1). Kualitas Lulusan, 2) Profesionalisme dosen dan Karyawan, 3) Fasilitas (Sarana dan Prasarana, 4). Dana, 5). Manajemen, 6). Gaya Kepemimpinan, 7). Birokrasi, 8.) Yayasan keluarga, 9). Lingkungan, 10). Input Mahasiswa, 11). Kurikulum dan 12). Penggunaan Teknologi Informasi. (http://www.ban-pt.or.id)
Dari beragam aspek di atas, seyogyanya dapat dikaji peraspek secara mendalam dan konfrehensif. Akan tetapi dalam artikel ini hanya membahas secara umum yang kiranya dapat meyentuh semua aspek yang menjadi bahan acuan bagi BAN dalam menilai sebuah perguruan tinggi untuk mendapatkan status akreditasi yang menyatakan kredibelitas perguruan tinggi yang bersangkutan.

II. KAJIAN TEORITIS
a.          Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan suatu proses dimana pembelajar atau mahasiswa dianggap sebagai keluaran (output) yang mempunyai nilai atau harga (value) dalam pasaran kerja, dan keberhasilan itu sering diukur dengan tingkat penyerapan lulusan dalam masyarakat dan kadang-kadang diukur juga dengan tingkat penghasilan yang mereka peroleh dalam karirnya sehingga Perguruan tinggi sering diartikan sebagai penghasil tenaga kerja yang bermutu (qualified manpower).
Barnet (1992) dalam http://www.ban-pt.or.id/id_konsep-akreditasi.htm (diakses tanggal 23 Mei 2007) menjelaskan bahwa Perguruan tinggi sebagai organisasi pengelola pendidikan yang efisien. Dalam pengertian ini perguruan tinggi dianggap baik jika dengan sumber daya dan dana yang tersedia, jumlah mahasiswa yang lewat proses pendidikannya (throughput) semakin besar.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa Indikator sukses kelembagaan terletak pada cepatnya pertumbuhan jumlah mahasiswa dan variasi jenis program yang ditawarkan. Rasio mahasiswa-dosen yang besar dan satuan biaya pendidikan setiap mahasiswa yang rendah dipandang sebagai ukuran keberhasilan perguruan tinggi.

b.       Konsep Dasar Akreditasi
Akreditasi dipahami sebagai penentuan standar mutu serta penilaian terhadap suatu lembaga pendidikan (dalam hal ini pendidikan tinggi) oleh pihak di luar lembaga pendidikan itu sendiri. (http://www.ban-pt.or.id/id_konsep-akreditasi.htm.
Penilaian tersebut, khususnya di Indonesia dilakukan oleh sebuah badan yang independen yaitu, Badan Akreditasi Nasional (BAN) dan di perguruan tinggi disebut dengan BAN-PT.  
BAN-PT berdiri pada tahun 1994, berlandaskan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. BAN-PT memiliki wewenang untuk melaksanakan sistem akreditasi pada pendidikan tinggi, baik untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Agama (PTA) dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) serta kerjasama dengan insitiusi pendidikan tinggi di dalam negeri, yang ditawarkan oleh institusi pendidikan tinggi dari luar negeri. http://www.ban-pt.or.id/.
Fungsi utama BAN-PT menurut peraturan perundangan yang ada (UU RI No. 20 tahun 2003, PP RI No. 60/1999, SK Menteri Pendidikan Nasional No. 118/U/2003), pada dasarnya adalah: membantu Menteri Pendidikan Nasional dalam pelaksanaan salah satu kewajiban perundangannya, yaitu penilaian mutu perguruan tinggi, yaitu Perguruan Tinggi Negeri, Kedinasan, Keagamaan, dan Swasta. Tugas utama tersebut meliputi (1) meningkatkan mutu pendidikam tinggi, (2) memperkenalkan serta menyebarluaskan "Paradigma Baru dalam Pengelolaan Pendidikan Tinggi", dan (3) meningkatkan relevansi, atmosfir akademik, pengelolaan institusi, efisiensi dan keberlanjutan pendidikan tinggi. (Tadjudin, 2000 dalam http://www.ban-pt.or.id/)

c.          Pengertian Sistem
Menurut Hamalik (2002) Sistem secara teknis berarti seperangkat komponen yang saling berhubungan dan berkerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Dan pendidikan merupakan sebuah system.
Sedangkan menurut Mudyaharjo (1993, dalam Hamalik, 2002) sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari berbagai elemen atau bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional dan berinteraksi secara dinamis untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Dari definisi di atas suatu sistem yang lain akan muncul karena mimiliki elemen-elemen tersendiri, dimana elemen tersebut juga merupakan sebuah system tersendiri. Artinya sebuah system dapat terdiri dari sub system–sub system yang pada gilirannya sampai kepada sebuah system yang amat besar dan dinamakan dengan supra sistem.
d.         Pendekatan sistem
Pendekatan system dalam pendidikan merupakan satu cara yang memandang pendidikan secara menyeluruh dan sistemik, tidak parsial atau fragmatis. Pendidikan sebagai suatu system merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan bagian bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain.
Pendekatan system mengandung dua aspek, yaitu aspek filosofis dan aspek proses. Aspek filosofis merupakan pandangan hidup yang mendasari sikap siperancang system yang terarah pada realita. Sedangkan apek proses meruapakan suatu proses dari implementasi system yang telah dirancang.

e.         Beberapa Model pendekatan Masalah
Dalam pemecahan masalah beberapa model dapat digunakan di antaranya model System Approach yang ditawarkan oleh Aristotle (Ismail Pulungan, 2001). System Approach terdiri dari delapan langkah yaitu Analisis kebutuhan (Needs), Penentuan Tujuan (objective), Analisis hal-hal yang mendasar (Constraint), Pemilihan beberapa alternative (Alternative), pemilihan alternative (select), Penerapan Alternatif (Implement), Evaluasi program (Evaluate) dan memodifikasi program jika diperlukan (Modify).
Model Aristotle di atas banyak digunakan dalam pemecahan masalah sehingga model tersebut sangat di kenal dengan “model pendekatan system”.
Selain model Aristotle, Deming menawarkan sebuah model yang dinamakan dengan “Total Quality Management” . TQM terdiri dari Perencanaan (Plan), Pelaksanaan (Do), Aksi (Act) dan Penilaian (Check). (Ismail Pulungan, 2001)
         
III.  PEMBAHASAN
a.  Pemecahan Masalah
Bagaimana Perguruan Tinggi yang belum terakreditasi atau hanya mendapat nilai “D” dari BAN-PT keluar dari masalah ini ?. untuk menjawab pertanyaan tesbut perlu adanya solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh Perguruan Tinggi dapat mempedomani langkah yang kemukakan oleh Lehman pada simposium 1967 (dalam Ismail Pulungan, 2001) yang diadopsi dari teori Aristotle yang mengemukakan pendekatan-pendekatan beberapa system malalui delapan langkah pendekatan :
1. Menentukan Needs
Untuk langkah pertama adalah menentukan kebutuhan apa yang dibutuhkan oleh Perguruan Tinggi yang bekum terakreditasi atau hanya mendapat nilai “D” sehingga perguruan tinggi yang bersangkutan dapat kembali beroperasi dan selalu meningkatkan status akreditasinya dikemudian hari
2. Penjabaran Objektif
Setelah mengetahui needs maka ditentukan dahulu “real need” (kebutuhan nyata) mana yang mungkin dipenuhi dan mana yang tidak mungkin terpenuhi. Tentu tujuan utama adalah solusi terhadap nilai Perguruan Tinggi
3. Mempelajari Konstrain
Perencanaan dapat saja berubah, oleh karena itu akan tidak salah konstrain (hal-hal yang mendasar) dipelajari terlebih dahulu dalam menelusuri solusi masalah, seperti faktor internal dan eksternal Perguruan Tinggi
4. Menyiapkan Alternatif
Banyak alternatif yang bisa diambil, tapi semua itu belum tentu dapat dikerjakan.
5. Seleksi
Setelah beberapa alternative diambil maka penyeleksian juga perlu dilakukan, dalam hal ini alternatif yang diajukan setelah penyeleksian adalah :
a.          Rekrutmen melalui seleksi yang ketat
b.         Pengembangan dosen melalui :
1.     Tugas belajar (S2 atau S3)
2.     Seminar / Lokakarya
3.     Penelitian
c.          Melengkapi Fasilitas
1.     Ruang Kuliah            
2.     Perpustakaan
3.     Laboratorium Teknologi Informasi
4.     Laboratorium Penunjang
5.     Perkantoran
6.     Aula                           
d.         Melalui Open Management yang objektif terhadap pihak yayasan dan transparan
6. Implementasi
Setelah alternatif diseleksi, ini semua akan tidak berarti bila tidak diimpelemtasikan dengan tindakan nyata.


7. Evaluasi
Setelah tahap impelemtasi maka untuk mengetahui keefektifan dan keefesienan harus dilakukan evaluasi terhadap proses problem solving
8. Modifikasi
Kemungkinan untuk memodifikasi alternatif yang telah dipilih bila dibutuhkan

b. Analisa Keuntungan dan Kelemahan


KEUNTUNGAN
KELEMAHAN
1. Sistem Rekruitmen :
a.          Terpilihnya dosen yang kualified, profesional dan pengembangan kedepan
b.         Tersaringnya input yang berkualitas

2. Pengembangan Dosen
a.          Tugas Belajar
?   Meningkatkan kualitas dosen
?   Mampu berkompetitif dengan PTN dan PTS lainya

b.         Seminar / Lokakarya
?   Peningkatan Wawasan
?   Pertukaran Informasi
?   Kredit Point
?   Promosi
c.          Penelitian
?   Penemuan baru
?   Informasi yang up to date
?   Pengembangan PT
?   Pengembangan Needs Assessment
-           
II. Melengkapi Fasilitas
a.          Kelancaran proses perkuliahan
b.         Kemudahan mendapatkan referensi dan literatur
c.          Pengujian, keterampilan, praktek
d.         Promosi
e.         Pelayanan Administrasi yang prima
f.           Memperlancar kegiatan akademik

III. Sistem Yayasan
     (Open Management)
a.        Cepat maju
b.       Dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan material
c.        Mudah melakukan pembinaan
d.       Memfungsikan unsur akademisi


?   Membutuhkan Biaya / Waktu yang banyak
?   Proses Rumit
?   Tidak banyak tenaga yang tersedia sesuai dengan kualifikasi

-           
?   Dana Besar
?   Waktu Panjang


-           


?   Dana besar
?   Birokrasi agak rumit




-           
?   Dana
?   Biaya
?   Lokasi
?   Tenaga Kerja





?   Dana
?   Waktu
?   Tenaga Profesional











?   Penyimpitan intervensi keluarga
?   Hilangnya unsur KKN
?   Tidak bisa menguasai segi akademik maupun segi finansial
?   Berkurangnya hak feto
?   Keputusan harus mengikut sertakan akademisi


c.   Alternatif Pilihan dan Alasan Pemilihan

Open Management dari pihak yayasan sangat diperlukan, karena dengan Open Management akan mengurangi keragu-raguan, menepis ketidak percayaan masayarakat kepada pengelolaan administrasi pada Perguruan Tinggi tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut manajemen dan pertanggung jawaban keuangan. Setelah itu pelaksanaan Open Management dapat memenuhi tuntutan perkembangan IPTEK dalam era Teknologi Informasi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa model pendekatan dapat digunakan dalam pemecahan masalah seperti “System Approach” dari Aristotle, Total Quality Management dari Deming.
Untuk meninjau permasalahan pendidikan maka tidak dapat dilakukan secara pragmatis dan parsial, akan tetapi harus dilihat secara integral dan utuh sehingga dapat menemukan solusi yang menyeluruh, lengkap dan holistik .
Perguruan tinggi yang belum terakreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) supaya dapat merespons dengan serius beberapa system yang terkait dengan mutu, seperti system rekruitmen, fasilitas, kualitas tenaga pengajar/dosen serta manajen pengelolaan.

Tidak ada komentar: