Selasa, 08 Februari 2011

Lamunan Saat Tidak Tertidur Jendela Kayu dan Bulan

JENDELA kayu ini sudah berdiri tertopang tembok kamar lebih lama dari diriku berada disini. Ia sangat bersahabat dengan bulan, dan suatu malam ia memperkenalkan bulan padaku. Mereka adalah sahabatku, mencipta malam–malam indah bersama saat manusia lain sibuk mengorok.

SUDAH lama aku tidak ingin pergi dari kamar ini. Mungkin itu alasan mengapa aku terlihat begitu pucat. Berawal saat aku memilih untuk berhenti berbicara dengan manusia dan lebih menyukai berbicara dengan jendela kayu, laki-laki yang sejak aku kecil mengajarkanku untuk memanggilnya bapak, memvonis aku sebagai anak gila dan mengunciku rapat-rapat dikamar ini. Dan malam-malam berikutnya, ia akan berjalan sempoyongan dengan bau alkohol dari entah minuman apa berhamburan keluar dari mulutnya, masuk tanpa mengetuk, kemudian menampar, meninju, menendang dan tak lupa meludahiku hingga tak ada lagi pekik tertahan yang mampu menyelinap keluar dari rongga tenggorakanku. Lalu ia akan mulai tertidur di kursi ruang tamu atau disudut-sudut kamarku bila tak mampu lagi dia berjalan, tapi itu hanya setelah dia selesai memainkan alat kelaminnya didalam lubang anusku.
Pernah terpikir olehku untuk bersembunyi didalam lemari, tapi sayang laki-laki itu bisa menemukan aku. Dilain waktu aku mencoba untuk bungkam tanpa pekik agar dia berhenti menyiksa aku. Tapi lagi, pemikiran dan harapanku memang tidak sinkron dengan otaknya. Malam-malam penuh ritual miliknya tetap berlanjut. 

Berjalan sempoyongan dengan bau alkohol dari entah minuman apa berhamburan keluar dari mulutnya, masuk tanpa mengetuk, menghajarku dan tak lupa meludahiku, memainkan alat kelaminnya didalam lubang anusku, lalu tertidur di kursi ruang tamu atau disudut-sudut kamarku. Begitu saja kerjanya setiap malam, hingga disuatu saat dia tak lagi kembali ke rumah entah karena alasan apa.

DEMIKIANLAH aku tak ingin lagi keluar dari kamar ini. Dimalam-malam kemudian aku berdiri disebelah jendela kayu dengan cat yang sudah mulai memudar dan mengelupas, berbicara padanya sambil memperhatikan bulan mengasuh bintang dengan senyumannya yang bersinar. Ditemani jendela kayu aku namai bintang-bintang itu satu persatu hingga tidak ada yang terlewatkan. Lalu saat malam sudah larut dan semua bintang sudah tertidur pulas, kami mendengarkan bulan bercerita tentang kisah-kisah dari segala penjuru bumi. Kami adalah tiga sahabat. Tidak satu malam pun terlewatkan tanpa kami mengobrol tentang segala sesuatu. 

Bahkan dimalam kelam saat bulan terlalu lelah dan bersembunyi dibalik awan, ia masi menitipkan suaranya bercerita melalui desiran angin atau tetesan hujan. Begitu selalu, hingga ketika bulan berpamitan untuk memberikan langit pada mentari. Akupun akan menutup jendela kayuku dan membaringkan diri sampai waktunya kembali berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
***
SEORANG lelaki dengan membawa seperangkat alat pembersih memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu. Tanpa bicara dia mulai membersihkan seluruh ruang kamar membuat sekelompok laba-laba dan kecoak berlarian keluar melalui celah di pintu dan jendela kayu. Kaki-kaki kecil serangga-serangga itu membuat jendela kayu tertawa kegelian. Aku juga ikut tertawa sampai pipiku terasa mengencang. Tapi tiba-tiba kulihat orang itu menatap kosong kearahku, begitu kosong hingga terasa matanya menembusku. Sambil bergidik, dia menghampiri jendela kayu dan membukanya lebar-lebar. Membuatku kesal karena aku tidak tahan dengan sinar matahari yang menyilaukan mataku. Aku segera bersembunyi didalam lemari persis seperti saat-saat laki-laki yang ingin aku memanggilnya bapak memasuki kamarku. Aku mengintip keluar. Orang itu melanjutkan menyapu, membersihkan debu, lalu mengepel ruangan sambil sesekali matanya memeriksa sekitar seolah ada sesuatu yang dia takuti. Terakhir, dia membersihkan jendela kayu dengan kain basah, membuat sebagian cat yang sudah terkelupas itu semakin mengelupas lebar. Bisa kudengar jendela kayu meringis-ringis, tapi nyaliku terlalu kendur untuk menghardik orang itu. Baru setelah dia keluar dan mengunci pintu aku memberanikan diri untuk keluar dari lemari. Tapi jendela kayu sudah tersenyum, bahkan terlihat segar setelah debu-debu yang menempel dikulitnya ikut terkelupas. Serat-serat jati itu terlihat lagi, membuatnya semakin gagah dalam kesederhanaan wujudnya. Kulihat sinar matahari masih menerobos masuk, mengurungkan niatku untuk menghampiri jendela kayu. Mendadak kudengar beberapa tawa meledak diluar, membuat nyaliku kembali mengendur. Aku segera masuk lagi kedalam lemari. Dan tetap diam disitu.

JENDELA kayu baru memanggilku setelah orang-orang itu pergi bersama matahari. Aku segera melompat keluar. Kudapati bulan sudah bertengger manis sambil tersenyum. Aku segera bercerita padanya tentang apa yang terjadi. Sesekali bulan hanya memandangi aku, berpindah bertukar pandang dengan jendela kayu, kembali berpindah padaku, kembali berpindah bertukar pandang dengan jendela kayu, begitu terus. Tapi ada yang aneh dari senyumnya, sinarnya seakan pudar memucat dalam kesedihan. Dan ia hanya sedikit mengatur senyumnya saat aku bertanya kenapa dia bersedih. Malam itu aku merasakan kesenduan, hingga aku memutuskan untuk tidur lebih cepat, bahkan dari bintang-bintang asuhan bulan.
***
SUARA berisik mengagetkan aku. Aku terbangun dan segera berlari kearah lemari, bersiap dengan tanggan pada pintunya. Laki-laki kemarin masuk, kembali dengan tanpa mengetuk, dan segera membuka jendela kayu lebar-lebar. Tak lagi ku tunggu, segera aku sembunyikan diriku dalam lemari persis seperti saat-saat laki-laki yang ingin aku memanggilnya bapak memasuki kamarku, tetapi sambil tetap mencoba mengintip keluar. 

Untung saja aku sudah bersiap, karena sesaat kemudian seorang laki-laki dan seorang perempuan memasuki kamarku. Si laki-laki terus berbicara dengan laki-laki yang masuk terlebih dahulu dan membuka jendela kayu. Suaranya terdengar ramah dan begitu nyaman ditelingaku. Seramah senyum dan tatapannya dari balik kaca mata bulat besar bertangkai hitam. Laki-laki itu pakaiannya begitu rapih, dimasukan kedalam celana dengan lengan panjang terkancing. Sepatunya juga begitu hitam mengkilat, tanpa debu. Sementara yang perempuan sibuk berjalan berkeliling. Matanya seakan menyelidik setiap jengkal ruangan. Ubin, dinding, langit-langit, termasuk jendela kayu tak luput dari pengamatan matanya yang berwarna cokelat dan memancarkan sinar teduh keibuan. Sebuah sinar yang mampu kunikmati hanya dalam dua tahun awal hidupku sebelum ibuku tertidur dalam tanah merah menggembung dan tak pernah kembali pulang.

Belum puas aku menikmati sinar teduh itu, dua anak kecil berhamburan kedalam kamar. Satu anak laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki lebih besar, sepertinya kakak dari yang perempuan. Dia berlari mengejar adiknya, tetapi mengurungkan niatnya setelah perempuan dewasa yang adalah ibunya itu menghardik dia agar tidak mengganggu adiknya. Anak kecil perempuan itu segera bersembunyi di belakang ibunya sambil tangan kecilnya terus menggenggam rok ibunya itu. Anak yang laki-laki berjalan menghampiri jendela kayu lalu menaiki dan berlompat-lompat disana membuat jendela kayu berteriak kesakitan. Tapi tidak ada yang menghentikan anak nakal itu menyakiti jendela kayu, bahkan tidak diriku. Aku tidak berani keluar dari lemari, hanya mampu memandangi anak nakal itu dengan dendam yang bertumbuh dengan sangat cepat. Aku tidak suka melihatnya menyakiti jendela kayu. Tapi aku juga tidak mampu menghentikannya. Mataku terus tertuju padanya, hingga bayanganku seperti melihat monyet melompat-lompat, persis seperti yang diceritakan bulan padaku. Ya, kelakuannya persis seperti monyet yang diceritakan bulan, dan aku semakin membencinya.
Tiba-tiba pintu lemari terbuka lebar membuatku terloncat kebelakang. Anak perempuan itu berdiri dihadapanku dengan mata menatap aneh padaku. Aku baru memperhatikan, anak ini ternyata sangat manis. 


Umurnya mungkin sekitar empat tahun, mungkin tiga tahun lebih muda dari kakaknya. Mukanya bulat memerah seperti tomat, berhias hidung kecil mungil yang juga bulat. Matanya juga bulat persis seperti ibunya tetapi berukuran lebih besar. Mata itu memancarkan keceriaan sambil berkedip-kedip membuat bulu matanya yang lentik pendek-pendek itu seolah melambai-lambai kegirangan dan memancingku tersenyum. Ia tertawa membalas senyumku, memperlihatkan sebarisan gigi putih mungil tersusun rapih. Akupun memberanikan diri memberikan tanganku untuk berkenalan, tapi mendadak sosok ibunya sudah berdiri dibelakangnya dan mengajaknya untuk melihat kamar yang lain lagi. Dengan ceria ia mengikuti langkah ibunya dengan langkah yang sedikit melompat-lompat. Melihat lompatannya tidak membuatku membayangkan seekor monyet. Tapi langkah-langkah kecil itu seperti tarian bahagia bagiku. Menggoyangkan pakaiannya yang berwarna merah jambu dengan bunga-bunga putih bertebaran dan sepasang kuncir rambut melayang layang diudara. Sempat ia berbalik dan tersenyum padaku sambil terus melangkah menyusul yang lainnya keluar kamar. Aku sendiri sempat mencatat dalam benak ketika tadi ibunya menyebutnya dengan nama Melati. Nama anak perempuan itu Melati.

Aku masih bersembunyi didalam lemari yang pintunya sudah kututup rapat. Masi bisa kutangkap suara tawa ceria Melati diluar sana. Aku sungguh berharap aku bisa berlari keluar dan bermain dengannya. Berlari berkejaran sambil tertawa-tawa, menari dengan berputar-putar, atau hanya tertawa melihat kakaknya yang bertingkah seperti monyet. Tapi aku hanya bisa berharap, hingga semua suara itu hilang dari pendengaranku. Mereka telah pergi dan membawa Melati serta.
***
AKU akui sudah lima malam wajah pucatku dirudung kesedihan. Aku sedang tidak tertarik dengan cerita-cerita sahabatku, hanya berdiri dekat jendela kayu, sesekali tersenyum, terkadang terpaksa tertawa bila kedua sahabatku mencoba menceritakan lelucon. Pikiranku masih tertuju pada Melati. Aku sangat merindukannya dengan segala keceriaan yang ditebarnya. Sering kubayangkan Melati berjalan memasuki kamar dan mengajakku bermain dengannya. Berlari berkejaran sambil tertawa-tawa, menari dengan berputar-putar, atau hanya tertawa melihat kakaknya yang bertingkah seperti monyet. Tapi Melati dan keluarganya tak pernah singgah lagi.
Aku sedih.

MALAM ketujuh aku semakin malas mendengarkan cerita sahabat-sahabatku. Aku hanya duduk di tempat tidur sambil membayangkan bermain-main dengan Melati.
Aku tidak pernah mempunyai teman bermain. Bapakku selalu melarangku keluar rumah. Dia pernah berkata dirinya malu mempunyai anak yang hanya memiliki satu tangan. Aku sendiri tidak pernah mengerti kenapa aku hanya memiliki tangan kiri dengan hanya tiga jari, tidak ada jari tengah dan kelingking disitu. Aku tidak tahu dimana sisanya. Apakah tertinggal diperut ibuku, atau terjatuh saat malaikat mengantarku kedalam perut ibu, atau dimana aku kehilangannya, aku sungguh tidak tahu. Orang tuaku tidak pernah memberi penjelasan. 

Bahkan ketika kutanyakan pada jendela kayu dan bulan sahabatku, mereka tidak bisa memberi jawaban dimana bisa aku mencari. Mereka hanya diam, sediam ketika aku bertanya kenapa bapakku begitu membenci aku atau ketika aku bertanya apakah Melati juga tidak kembali karena kondisiku ini.
Aku sedang malas mendengarkan cerita sahabat-sahabatku. Hanya terduduk bersila diatas tempat tidur sambil memandangi pintu kamar berharap Melati menghambur masuk dan mengajakku bermain. Mungkinkah?
***
SETELAH dua minggu berlalu aku hampir bisa melupakan Melati dan kembali mengisi malam-malam dengan dua sahabatku. Tapi semua kembali berubah ketika suatu pagi terjadi kegaduhan dirumah. Ketika matahari masih awal, beberapa orang masuk kedalam rumah sambil mengangkat-angkat begitu banyak barang. Mereka juga memasukan beberapa barang kedalam kamarku bahkan berani memindahkan lemari ketika aku masih bersembunyi didalamnya, menyebrangi ruangan dan menempatkan lemari ini tepat disebelah jendela kayu.
Awalnya aku tidak mengerti, siapa orang-orang itu dan barang-barang milik siapa yang diangkut mereka kedalam rumah. Hingga aku dengar suara tawa riang yang aku kenal dan kurindukan dengan sangat. Mungkinkah?

Sepasang kaki kecil berlari menghantar sesosok anak perempuan berkuncir memasuki ruang. Berhenti sejenak mencoba mencari sebuah lemari yang telah dipindahkan, lalu melompat-lompat gembira ketika menghampiri. Aku tanpa ragu segera membuka pintu lemari dan memperlihatkan diriku padanya. Sungguh bahagia aku saat aku mengulurkan tanganku dengan tanpa ada secuil keraguanpun dia menyambut tangan kiri dengan tiga jari ini. Tertawa kecil lalu melepaskan tanganku dan kembali berlari keluar. Sempat ia berhenti dimuka pintu dan melambaikan tangan. Walau hanya sepersekian detik tapi aku mampu menangkap bahasa dalam pandangannya, ia senang telah kembali dan bertemuku. Seandainya dapat ia mengerti pandanganku, ia pasti mengerti bahwa aku juga sangat gembira ia kembali.
Segera kututup kembali pintu lemari, kembali bersandar, dan mulai membayangkan permainan apa yang akan segera kumainkan bersama Melati.
Aku tersenyum gembira.
Aku bahagia.
***
MALAM itu dan malam-malam berikutnya Melati menjadi teman sekamarku. Pada malam pertama kukenalkan ia pada jendela kayu dan bulan. Dengan sabar kuajari Melati berbicara dengan dua sahabatku ini. Lalu kukenalkan juga ia pada semua bintang-bintang asuhan bulan. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan aku dengan semua bonekanya, dan dengan sabar ia ajari aku berbicara dengan mereka. Melati juga menunjukan banyak buku-buku dengan gambar-gambar lucu berwarna-warni. Ada yang bergambar binatang-binatang, putri dan pangeran, bahkan peri dan malaikat. Tidak ada satupun yang sesuai dengan gambaran bayanganku, membuat aku semakin tertarik dan menyukai buku-buku itu. Dan jika ia sudah tertidur kelelahan, akupun berlatih berbicara dengan boneka-bonekanya. Sambil menyisiri, merapihkan baju mereka, atau sambil kududukan mereka dalam pelukan jendela kayu dan cahaya senyuman bulan.

Beberapa malam berjalan, aku mulai memberanikan diri untuk membawa diriku keluar kamar. Jendela kayu akan membantuku melompati mulutnya dan mendaratkan aku di hijau rerumputan basah. Ditaman itu aku menari direngkuhan cahaya bulan, berputar-putar bagai gasing dan melompat-lompat bagai bola. Hingga aku lelah dan kurebahkan diriku diatas rumput. Lalu kuceritakan segala kegembiraanku pada jendela kayu dan bulan, saat semua manusia sudah tertidur di bumi, dan semua bintang tertidur dilangit. Hingga saat bulan menyerahkan langit pada mentari, kusempatkan memetik beberapa kuntum melati putih mewangi dibawah jendela kayu dan menaruhnya diatas bantal sahabat baruku, Melati. Lalu kutunggui ia disamping tempat tidur sampai ia terbangun dan menciumi wangi melati-melati yang kupetik itu hingga menyusup kesegala sel darah dan menyeruak keluar dari semua pori-pori di tubuhnya.

SEMUA berjalan lancar selama beberapa waktu, sampai suatu hari ibu Melati menganggap kuntum-kuntum melati segar yang tergolek dibantal Melati setiap malam itu sebagai suatu kejanggalan. Sempat aku mencuri dengar saat ibunya mengatakan kalau-kalau Melati tidur sambil berjalan pada bapaknya. Dan malamnya perempuan itu menemani Melati tidur dengan jendela kayu tertutup rapat.

Aku kesal. Bukan hanya aku tidak dapat bermain-main dengan Melati seperti biasanya, tetapi aku juga tidak bisa menemui bulan. Malam itu aku tidak melalukan apa-apa, tapi malam berikutnya aku sudah tidak tahan. Setlah kupastikan perempuan itu tertidur, aku segera membuka jendela kayu dan menyelinap keluar melalui mulutnya. Segera kulepas rinduku pada bulan, bercerita sambil menari berputar-putar. Tapi mendadak kudengar suara jendela kayu tertutup dari dalam. Aku terkaget dan segera kembali. Kuketuk-ketuk jendela kayu agar ia mau terbuka dan menolongku masuk. Tapi saat aku meloncati mulut jendela kayu, entah apa yang menyebabkan perempuan itu berteriak-teriak memanggil suaminya. Membuat nyaliku lekas mengendur dan wajahku lebih pucat dari sebelumnya. Aku segera bersembunyi didalam lemari persis seperti saat-saat laki-laki yang ingin aku memanggilnya bapak memasuki kamarku. Laki-laki itu berlari memasuki kamar lalu menghampiri jendela kayu dengan batang besi tergenggam ditangan. Perempuan itu masi terus menunjuk kearah jendela dengan wajah pucat penuh ketakutan orang yang melihat hantu. Sementara kulihat Melati terisak kebingungan, sama bingungnya dengan diriku. Aku tidak tahu kenapa perempuan itu begitu ketakutannya melihat jendela kayu yang terbuka lebar. Laki-laki itu melongkok ke kanan kiri diluar jendela, melompat melalui mulut jendela kayu, lalu menghilang kearah kanan didalam kegelapan malam. Cahaya senyuman bulan sempat terlihat menerobos sesaat sebelum perempuan itu menyalakan lampu kamar dan berdiri cemas disamping tempat tidur. Melati masih terisak kebingungan, sama bingungnya dengan diriku. Beberapa menit kemudian laki-laki itu muncul dari arah kiri dan meloncati mulut jendela kayu, ikut kebingungan karena tidak menemukan apapun diluar. Segera ditutupnya jendela kayu dan menguncinya rapat. Tapi saat itulah dia menemukan beberapa kuntum melati tergolek dilantai tepat dibawah jendela kayu, kuntum-kuntum melati yang sepertinya terlepas dari tanganku ketika aku terburu-buru bersembunyi dalam lemari. Laki-laki itu bergegas menggendong Melati dan menarik istrinya keluar kamar tanpa berkata. Lalu kudengar pintu kamar dikunci dari luar.
Aku keluar dari persembunyianku, masih dengan kebingungan melingkupi perasaanku. Apa sebenarnya yang baru saja terjadi? Mengapa perempuan itu begitu ketakutan? Aku bingung.
***
MALAM kembali hadir, bulan hanya menampakan setengah dirinya saja dilangit, entah dimana bintang-bintang asuhannya itu ia sembunyikan, seakan memberi isyarat padaku bahwa sesuatu akan terjadi.
Sudah sedari tadi aku berjongkok didekat pintu mencoba mengintip melalui lubang kunci. Aku mencari Melati. Tapi tak kudengar suaranya dari tadi. Bahkan suara kakaknya yang selalu berloncat-loncat seperti monyet itu juga bagai hilang ditelan sumur. Hanya bisa kudengar samar suara suami isteri itu berbicara dengan sebuah suara laki-laki yang sama sekali asing dipendengaranku. Begitu samarnya pembicaraan mereka hingga tak bisa ku tangkap apa yang sedang mereka bicarakan.

Tiba-tiba pandanganku hilang. Sebuah kunci dimasukan kelubang membuatku terhentak dan segera berlari kedalam lemari. Seperti biasa, aku berusaha mengintip keluar. Suami isteri itu masuk dengan seorang laki-laki aneh dengan baju serba hitam denga kepala terikat sehelai kain bermotif batik. Kumisnya begitu tebal sampai menenggelamkan mulutnya yang hanya bisa terlihat karena dia berkomat-kamit. Dijarinya bisa kulihat begitu banyak cincin berbatu warna warni, merah, hijau, cokelat dan tiga yang berwarna hitam legam. Dalam genggaman kanannya ada sebuah keris terhunus sementara tangan kirinya memegang segelas air.

Dengan tangan kanannya dia memberi isyarat agar suami isteri itu berdiri dibelakangnya setelah menutup pintu. Lalu diputar-putarnya keris itu diudara, meminum sedikit dari gelasnya, tapi kemudian menyemburkan air itu kearah keris. Asap muncul seperti air menyentuh benda panas. Bersamaan dengan itu aku rasakan lemari ini berubah menjadi sangat panas dan sempit seolah mengkerut menghimpit. Awalnya aku masi bertahan karena terlalu takut untuk menyingkir. Tapi pada semburan kedua dari laki-laki aneh itu, lemari ini berubah semakin panas dan seluruh dindingnya seakan memerah membakarku. Akupun tak sanggup lagi dan segera menghambur keluar. Tapi aku salah. Karena begitu aku keluar dari lemari, laki-laki aneh itu segera mengejarku dan telah siap dengan sekumpulan air dimulut yang segera disemburkannya kearahku dengan mantra-mantra yang tak kumengerti. Dengan begitu lantang dia memerintahkan aku pergi dari rumah ini. Aku bingung. Kenapa aku yang harus pergi? Seharusnya dia saja yang pergi. Kembali disemburkannya air yang sudah berbau mulutnya itu diiringi segala mantra sambil terus mengejarku kesegala arah aku berlari.

Aku marah dengan mata merah melotot hampir copot. Aku tidak terima diriku diusir dari tempat aku bernaung selama bertahun. Tapi segala mantra dan bau mulut menyembur bersama air itu sangat menyakiti aku. Aku berlari, menemui sahabatku yang berdiri tegak tertopang tembok. Ia segera memeluk aku sekejap setelah aku mendapatinya. Orang aneh itu terus mengejar dengan tetap menyemburkan mantra dan bau mulut. Dengan cepat jendela kayu itu melemparku dengan segala kekuatannya kearah bulan. Aku melayang, masih dengan perasaan kesal.

Tapi kutemui wajah bulan tersenyum menyambut saat aku mendekat. Membuat segala kesal dan kesahku luntur terbawa cahaya senyumannya. Sesaat sempat aku menoleh kebawah, kudapati laki-laki aneh itu menyemburi segala sudut jendela kayu. Tapi jendela kayu itu diam tegap tak bergeming.
Tunggu aku sahabatku, aku akan kembali menemani malam-malammu. Dan percayalah, kita akan berkumpul lagi bersama. Menari diiringi tawa tanpa lelah dibawah cahaya senyuman bulan.
Maafkan aku jendela kayu.
Maafkan aku sahabatku.

Tidak ada komentar: