Selasa, 08 Februari 2011

Ketika Orang Tua dan Sekolah Lepas Tangan

Terus terang saya sedih dengan fenomena yang terjadi. Ketika siswa melakukan sesuatu yang dinyatakan “kejahatan”, maka istitusi sekolah secara umum melakukan pilihan tindakan yang sama : mengeluarkan siswa siswa nakal tersebut.
Ada apa sebenarnya?

Mungkin ini terlalu ekstrim, tapi beginilah dunia kita. Orang tua melepas anaknya kesekolah, seakan-akan tanggungjawab orangtua tentang pendidikan tidak ada, dan itu adalah tanggungjawab sekolah. Tanggungjawab orang tua adalah mencarikan biaya untuk modal sekolah tersebut. Sekolahpun hanya merasa bertanggungjawab mengisi “otak” sang siswa. Dan hanya di jam sekolah. Sisanya, sekolahpun merasa tidak bertanggungjawab. Sementara si siswa tengah berada di umur-umur yang berbahaya. Anak TK dan SD tengah berada di masa kosong yang penuh rasa ingin tahu. Anak SMP dan SMA berada dalam masa krisis identitas tentang siapa dia. Umur-umur aqil baliqh yang berkutat dengan pencarian jati diri. Dan jadilah si anak menjadi kebingungan. Ketika si orang tua melepas anaknya ke sekolah, dan sekolah juga melepas anak ke orang tua, lalu bagaimana nasib mereka?. Kemana mereka harus pergi ketika semua lepas tangan?

Dosa itu terlalu besar untuk dibebankan kepada seorang anak. Dan kadang-kadang saya selalu berfikir. Tidak satupun orang hebat yang tidak pernah berbuat salah. Seorang Thomas Alfa Edison pun ketika ditanya apa formula keberhasilannya, justru keberhasilan itu dihasilkan dari 9999 kesalahan yang pernah dia buat. Sementara, saat ini kesalahan seorang anak sudah menjadi aib, lalu menjadi dikucilkan, dan jadilah orang-orang yang tidak saja takut berbuat salah, tapi yang lebih parah bisa cenderung untuk takut berbuat. Dan ini punya impact yang fatal bagi generasi tersebut di masa depan. Kesalahan tidak untuk dibenarkan, tapi bagaimana agar kesalahan tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi untuk berbuat baik dan benar.

Sebagai orang yang belum pernah menjadi orang tua dan guru, omongan saya ini mungkin akan jadi bahan ketawaan. Belum pernah jadi orang tua dan guru kok sok tau. Maaf jika seperti itu. Tapi ijinkan saya tetap berpendapat.
Saat ini sebenarnya konsep home schooling sudah cukup berkembang. Sebuah trend yang baik. Namun, saya fikir itu tidak cukup. Secara filosofis menurut saya, konsep home schooling bukanlah sekedar memindahkan proses belajar mengajar ke rumah. Kalau begitu mah paling tidak akan memberikan impact yang besar. Tapi home schooling dari konteks orang tua seharusnya memberikan perspektif, bahwa tanggungjawab pendidikan itu yang utama ada di rumah. Pendidikan bukan hanya tanggungjawab sekolah.

Begitu pula dengan sekolah. Sungguh menyedihkan jika institusi sekolah hanya bisa mengeluarkan siswa nakal. Lha, masa sekolah lupa berfikir bahwa siswa nakal itu toh suka tidak suka juga hasil didikan mereka sendiri? Lalu haruskah mereka melanjutkan hidup sebagai sampah masyarakat? Banyak hal yang seharusnya, peristiwa seperti siswa yang merokok, foto porno dan sebagainya harusnya menjadi bahan perenungan. Kenapa mereka seperti itu? bagaimana cara menghadapinya? apa yang salah dengan konsep dan proses pendidikan?

Sebagai analogi, dulu, dalam sebuah seminar saya pernah di komplain seorang guru. Dan kebetulan itu terjadi di Padang, kampung halaman saya. Sang guru berkata, internet tidak boleh masuk sekolah. Internet cuma sumber maksiat. Saya lalu menyampaikan logika sederhana. Justru, jika memang internet itu punya impact sedemikian rupa, maka seharusnya internet HANYA ada di sekolah dan wajib hukumnya. Kenapa? Jika sekolah tidak memfasilitasi (dan juga orang tua dirumah), maka tetap si anak tidak akan bisa dilarang. Mereka akan keluar rumah, berinternet di warnet, tanpa pengawasan. Bagaimanapun juga, tanpa ingin mendesktritkan warnet, warnet adalah sebuah bisnis. Ini tidak bisa dipungkiri. Sehingga posisi “mencari keuntungan” akan tetap berada di list lebih tinggi daripada “moral”. Justru dengan menyediakan internet di sekolah atau rumah, aktifitas berinternetnya bisa lebih diawasi. Konsep managementnya bisa lebih di atur, misal, dengan membuat tanpa sekat. Sehingga tidak bisa sembunyi-sembunyi. Kecuali, jika memang si orang tua juga malas mengikuti perkembangan yang ada, malas memahami kondisi anaknya, malas menyisihkan waktu bagi mereka. Begitu pula dengan guru.

Finally, mohon maaf buat bapak dan ibu guru. Saya sadar bahwa terlalu besar tanggungjawab seorang guru jika dibandingkan dengan apa yang didapatkan. Guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Tapi saya masih sangat percaya, banyak orang-orang yang memang memilih untuk menjadi guru, karena memang sudah menjadi panggilan jiwa. Semoga Tuhan membalas itikad baik tersebut. Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai sebuah proses pelecehan bagi profesi guru itu sendiri.

1 komentar:

Tezha Batubara mengatakan...

Heemmmmmmmmmmm..