Selasa, 08 Februari 2011

Menata Kembali Perguruan Tinggi Kedinasan


Menata Kembali Perguruan Tinggi Kedinasan

Dunia pendidikan Indonesia, saat ini tengah dalam sorotan publik. Hal ini ditandai adanya sikap pro dan kontra dalam perjalanan proses legislasi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kontroversi PTN BHMN, hingga adanya fenomena (wacana) peleburan sekolah-sekolah kedinasan dari berbagai departemen/lembaga nondepartemen ke Departemen Pendidikan Nasional sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas, dan wacana dalam dengar pendapat umum Komisi VI DPR dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Kedinasan Indonesia (Aptiki) di Gedung DPR/MPR tanggal 2 Maret 2004.
Memerhatikan fenomena tersebut, pemerintah harus betul-betul serius menangani pendidikan nasional, baik meliputi penyediaan tenaga kependidikan, pembangunan infrastruktur, dan pengembangan sistem pendidikan yang paling tepat. Kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa pendidikan nasional menghadapi berbagai tantangan yang cukup besar dan mendasar, terutama dalam konteks pembangunan sumberdaya aparatur. Pada era reformasi ini, tantangan yang dirasakan sehubungan dengan keadaan dan permasalahan pada Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) secara langsung memiliki kaitan dengan sistem pendidikan nasional.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pendidikan harus menitikberatkan kiprahnya untuk menciptakan pendidikan yang bermutu, baik dari segi masukan, proses, maupun hasil pendidikannya. PTK yang bermutu tentunya dapat menghasilkan sumber daya aparatur yang unggul, yaitu aparatur yang cerdas dan berwatak baik, yang meliputi kecerdasan intelektual, sosioemosional, maupun spiritual. Aparatur yang seperti itulah yang diharapkan dapat berguna dalam kondisi birokrasi saat ini. Oleh karenanya, perbaikan manajemen mutu di PTK harus menjadi prioritas.

PTK merupakan usaha agar aparatur dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang sesuai dengan kebijakan pengembangan pegawai yang berlaku. Oleh karena itu, pertanyaan yang cukup menggelitik yaitu, apakah PTK kini tidak dapat berfungsi sebagai alternatif obat mujarab untuk menjadi candra dimuka penggodok aparatur negara di republik ini? Padahal seharusnya PTK dioptimalkan untuk menjadi lembaga pendidikan yang diandalkan mengatasi permasalahan kualitas pelayanan aparatur yang selalu disorot oleh berbagai pihak.
Dalam kaitan tersebut, penguatan kebijakan PTK perlu dilakukan dalam rangka memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan aparatur agar menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan dan tuntutan pelayanan prima bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasional yang berlaku, dikenal beberapa jenis pendidikan, termasuk salah satunya adalah pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan meliputi jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Hal tersebut telah diatur dalam UU Sisdiknas, baik UU Nomor 2 Tahun 1989 maupun UU Nomor 20 Tahun 2003 sebagai pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989.
Mengenai PTK sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan nasional, perlu lebih diberdayakan agar mampu memenuhi kebutuhan aparatur yang profesional dan berkompeten di lingkungan instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD serta sektor tertentu yang belum terjangkau oleh PTN atau PTS. Ketentuan mengenai PTK saat ini masih mengacu pada PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, mengingat peraturan pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 belum terbit.
Problema Perguruan Tinggi Kedinasan di Indonesia
(Oleh : Bambang Sigit P)
Perguruan Tinggi Kedinasan (PTN), perguruan tinggi yang menghasilkan aparat – aparat negara, penghasil government citizen dalam sistem pendidikan nasional. Selama berpuluh – puluh  tahun pengoperasiannya, Perguruan Tinggi Kedinasan telah banyak menghasilkan SDM – SDM berkualitas bagi bangsa ini. Tapi tampaknya saat ini PTK akan mengalami benturan kepentingan dengan berbagai pihak / elemen – elemen dalam lingkup segi pendidikan itu sendiri. Terutama pasca terjadinya peristiwa Kematian Praja Wahyu Hidayat yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Peristiwa tersebut telah membuka entry point bagi publik dan pihak berkepentingan lainnya untuk melancarkan opini pembubaran PTK. PTK dinilai sudah tidak relevan lagi saat ini, PTK dicap sebagai lembaga / institusi yang perlu memperoleh pengonsepan ulang pengelolaan anggaran pendidikannya. PTK ditengarai sebagai salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap minimnya dana operasional yang disubsidi pemerintah untuk Perguruan Tinggi Negeri. Menurut catatan  Komisi VI DPR RI, anggaran pendidikan kedinasan yang menyebar di berbagai departemen di luar Depdiknas mencapai Rp. 20 trilyun. Ini melebihi anggaran pembangunan untuk Depdiknas yang hanya mencapai sekitar Rp. 13,1 trilyun.
Faktor kedua yang menjadi pertimbangan Komisi VI untuk merevisi status PTK adalah paradigma reformasi dalam sisdiknas. Wakil Ketua Komisi VI Anwar Arifin mengingatkan, riwayat dan filosofi pendidikan kedinasan sebetulnya berawal dari tingginya kebutuhan tenaga ahli untuk mengisi formasi di lembaga aparatur negara. Kebutuhan itu, menurut beliau saat ini sudah terpenuhi dan kini sudah masanya zero growth penerimaan pegawai. Beliau juga mengkritisi beberapa PTK yang belakangan ini menyalahi fungsi dasar PTK, dengan justru menerima mahasiswa umum yang kemudian tidak diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini menunjukkan inkonsistensi dari filosofi PTK.
Faktor lain yang menjadi pemicu isu pembubaran atau peleburan PTK oleh Depdiknas ialah keberadaan / eksistensi PTK itu sendiri, yang memiliki fungsi maupun fakultas yang memiliki kesejajaran kedudukan dengan fakultas lain di PTN – PTN di seluruh tanah air ( terutama dalam hal materi dan fungsi ), sebagai contoh :
No
PT Kedinasan
PTN  / PTS ( program studi )
1
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
PTN & PTS (Ilmu Kesejahteraan Sosial)
2
Institut Ilmu Pemerintahan/STAN
UGM, Unpad, UT & PTS (Ilmu Pemerintahan)
3
STAN
PTN  & PTS (Akuntansi)
4
STIA – LAN
PTN & PTS (Ilmu Administrasi)
5
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
UNIBRAW, IPB (Penyuluhan Pertanian)
6
Sekolah Tinggi Perikanan
Beberapa PTN & PTS (Perikanan)
7
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ITB, ITS, UGM (Teknik Geodesi)
8
Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil
UI & PTS (Teknik kimia/konsentrasi tekstil)
9
Sekolah Tinggi Multimedia
PTN & PTS (Desain grafis dll)
10
Sekolah Tinggi Manajemen Industri
PTN & PTS (Teknik industri)
11
Sekolah Tinggi Hukum Militer
UI (Ilmu Hukum Militer)
12
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
UI (Kriminologi)
13
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran
PTS (Pelayaran)
14
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir
ITB, ITS (Teknik kimia )
15
Sekolah Tinggi Energi Migas
ITB, ITS (Perminyakan)
16
Sekolah Tinggi Pariwisata
PTS & PTN (Pariwisata)
17
Politeknik Kesehatan
PTS (Akademi Kesehatan)
18
Pendidikan Teknologi Kimia
ITB, UGM, USU (Teknik Kimia)
19
Akademi Kimia Analis
PTN & PTS (Kimia)
20
Akademi Ilmu Pemasyarakatan
PTN & PTS (Hukum)
21
Akademi Teknologi Kulit
PTN & PTS (Teknik Kimia)
22
Akademi Teknologi Industri
PTN & PTS (Teknik Industri)
23
Akademi Pimpinan Perusahaan
PTN & PTS (Manajemen)
24
Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan
PTS (Penerbangan)
25
Akademi Pelayaran
PTS (Pelayaran)
26
Akademi Angkutan Sungai Dan Penyebrangan
PTS (Pelayaran/Administrasi Pelabuhan)
27
Akademi Lalulintas Angkutan Jalan
PTS (Lalulintas Jalan)
28
Akademi Elektromedik
PTS (Elektro)
29
Akademi Penata Rontgent
PTS (Rontgent)
30
Akademi Kesehatan Lingkungan
UT & PTS (Kesehatan Lingkungan)

Dapat diinformasikan bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan yang ada saat ini berjumlah 51 buah, yang tersebar pada: Departemen Dalam Negeri (2); Departemen Perindustrian dan Perdagangan (8); Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya (4); Departemen Kelautan dan Perikanan (4); Departemen Pertanian (6); Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (1); Departemen Sosial (1); Departemen Kehakiman dan HAM (2); Badan Pusat Statistik (1); Badan Tenaga Nuklir Nasional (1); Badan Pertanahan Nasional (1); Kominfo (1); Departemen Kesehatan (1, terdiri dari 32 politeknik kesehatan); Departemen Keuangan (1); Departemen Pertahanan dan Keamanan (TNI) (2); POLRI (2); Lembaga Administrasi Negara (3); Badan Intelejen Negara (1); dan Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi (9).
Hal di atas melatar belakangi kebijakan Pemerintah secara khusus Departemen Pendidikan Nasional untuk menelurkan kebijakan pendidikan yang tertuang dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa “ Perguruan Tinggi Kedinasan menyelenggarakan program profesi setelah sarjana di lingkungan departemen / instansi. “
Kondisi pada saat ini menunjukkan bahwa:
a.     Formasi PNS sudah sangat terbatas ( minus growth );
b.    Peran pemerintah secara bertahap berkurang, tidak lagi dominan karena sudah diupayakan adanya pemberdayaan peran swasta dan masyarakat;
c.     Ketersediaan tenaga ahli lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta sudah banyak dan memenuhi kebutuhan pemerintah maupun sektor swasta;
d.    Jumlah dan kemampuan PTN/PTS sudah meningkat pesat dan mampu memenuhi kebutuhan / permintaan pemerintah dan masyarakat;
e.     Banyak PT kedinasan yang menerima mahasiswa umum ( bukan calon pegawai ) dan setelah lulus dilepas ke masyarakat ( tidak diangkat sebagai pegawai di Departemen / LPND ).
Antisipasi untuk masa mendatang:
a.     Pemerintah perlu melakukan efisiensi penggunakan dana untuk pendidikan tinggi secara tepat sasaran;
b.    Perlu dicegah adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan pendidikan tinggi oleh berbagai unit terkait;
c.     Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh PTN / PTS seyogyanya lebih fleksibel untuk memenuhi kebutuhan masyarakat / pemerintah;
d.    Struktur pemerintahan lebih ramping sehingga akan terjadi pengurangan PNS secara signifikan;
e.     Dengan keadaan di atas, maka keberadaan PT kedinasan akan dihapuskan secara bertahap ( phasing out ) kecuali untuk bidang yang sangat khusus dan spesifik / strategis.
Tindak lanjut pemanfaatan sumber daya perguruan tinggi kedinasan ( yang sama / serupa dengan PTN / PTS ) yang ada pada saat ini:
a.     PT kedinasan yang ada supaya dialihkan menjadi perguruan tinggi swasta;
b.    PT kedinasan dijadikan sebagai bagian ( digabungkan ) dari PTN tersebut;
c.     PT kedinasan dikembalikan fungsinya kepada fungsi awal, yaitu sebagai balai pelatihan untuk keperluan lokal / setempat.
Dari besarnya jumlah PTK yang berjumlah sekitar 50, dengan jumlah mahasiswa mencapai 68 ribu orang hal di atas sangat merisaukan pihak PTK. Apalagi jumlah PTK yang ada saat ini semakin membuka jalan untuk legalisasi penataan operasional pada PTK seperti yang tertuang pada UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003.
Masalah ini memang sangat menyita perhatian publik, terutama dari golongan pelajar. Isu yang berkembang dalam koridor pemikiran masyarakat telah memunculkan berbagai sikap dan opini, baik yang pro maupun yang kontra.
Dari sumber – sumber surat kabar Harian Kompas yang diperoleh, banyak terdapat tanggapan, opini, dan berbagai statement menarik dari berbagai pihak yang cenderung mengekspos kebijakan pemerintah mengenai hal ini. Seperti masalah pengalokasian dana, penyimpangan fungsi dari PTK, penyalahgunaan kewenangan, dan berbagai macam obyek lain yang proaktif dan menunjukkan kepedulian terhadap masalah ini.
Di lain sisi isu masalah peleburan PTK ke Depdiknas, memunculkan kerisauan dari pihak masyarakat yang memandang PTK sebagai sekolah rakyat, yang memang benar – benar dibutuhkan dan menjadi tempat bersandar sebagai penyuplai perbaikan ataupun pembentuk SDM dan sosok high quality person yang diharapkan dapat meningkatakan kualitas negara ini. Apalagi ditambah implikasi penerapan otonomi kampus serta pengalihan PTN sebagai BHMN, educational cost mengalami peningkatan yang sangat tajam. Sebagai akibatnya, terutama masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah, sangat terbebani dalam masalah ini. Mereka yang seharusnya memperoleh hak akan pendidikan yang layak demi peningkatan kualitas SDM malah terisolasi oleh kebijakan pemerintah yang seharusnya menjaga kepentingan masyarakat.
Menurut  pendapat pakar Ilmu Pemerintahan Universitas  Padjadjaran ( Unpad ) Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira di Bandung pada tanggal 9 Juli 2004 lalu.
"Pengalihan anggaran pendidikan kedinasan memang perlu demi mengatasi beratnya beban Departemen Pendidikan nasional untuk menopang biaya operasional PTN. Namun, tidak semua harus dialihkan karena departemen lain punya kepentingan mendidik pegawainya menjadi birokrat terampil dan berwawasan luas," ujar beliau. 
Masih menurut beliau, beliau menegaskan, kerisauan masyarakat, perguruan tinggi, dan DPR hendaknya menggugah komitmen pemerintah untuk menyediakan anggaran memadai terhadap sektor pendidikan. Untuk jangka pendek, solusi yang ditawarkan Komisi VI layak  dirumuskan. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan penyisihan APBN sebesar kurang lebih 20 persen untuk sektor pendidikan yang semula hanya sekitar 8 persen, sesuai amandemen UUD 1945.
Lalu bagaimana sikap dan langkah kita, sebagai pihak terkait dari elemen PTK yang pada dasarnya juga sebagai sosok manusia yang berpikiran maju dan berkembang dalam menyikapi hal ini ?

Pemutakhiran Terakhir ( Monday, 08 September 2008 )

Tidak ada komentar: