Senin, 14 Februari 2011

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN SIKAP PEMAAF PADA REMAJA



A. Permasalahan

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Kedewasaan dalam diri remaja berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing individu. Berbuat kesalahan kepada individu lain dalam suatu interaksi pasti pernah terjadi serta pernah dialami oleh para remaja. Tidak semua orang mau dan mampu secara tulus memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain demikian halnya para remaja. Proses memaafkan memerlukan kerja keras, kemauan kuat, dan latihan mental, karena terkait dengan hati manusia yang fluktuatif, dinamis, dan sangat reaktif terhadap stimulan luar (Wardhati, 2004).
Sikap pemaaf pada diri remaja tergantung pada tingkat kedewasaannya. Semakin dewasa, remaja akan mempunyai sikap pemaaf yang tinggi, hal ini dikarenakan karena tingkat kedewasaan akan membuat remaja pada khususnya untuk melapangkan dada dalam memberi maaf pada setiap kesalahan yang diperbuat oleh orang lain (Nuryoto 2003).

Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap pemaaf pada diri remaja mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan, sebab sikap pemaaf ini akan mempengaruhi kehidupan sosial dari remaja tersebut. Jika sikap pemaaf dapat dilakukan dalam hidup bermasyarakat, maka akan diterima pula oleh masyarakat. Remaja yang mempunyai sikap pemaaf, berarti telah mempunyai kemampuan untuk menyeimbangkan emosi dengan baik.

Sikap pemaaf adalah suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Definisi dari maaf itu sendiri adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Menurut Nuryoto (2003), selain pemaaf yang merupakan sikap positif dalam diri manusia, juga terdapat sikap negatif yaitu sifat pemarah dan pendendam. Pemaaf adalah sifat luhur yang perlu ada pada diri setiap manusia, namun dapat diakui tidak mudah untuk menjadi seorang pemaaf.

Sikap negatif yang menjadi lawannya yaitu sikap pemarah yang senantiasa berusaha menghilangkan wujud sifat pemaaf dalam seseorang. Dua unsur tersebut mewujudkan satu mekanisme yang saling ingin menguasai diri seseorang. Iman dan takwa menjadi pengemudi melahirkan sifat pemaaf disaat muncul sifat pemarah. Sifat pemaaf sulit dilakukan, karena manusia senantiasa dikuasai pikiran untuk bertindak sesuatu sehingga dapat membunuh nilai moral.

Sikap pemaaf dapat dijadikan sebagai pilihan sikap yang dapat menepis keinginan untuk menyakiti orang lain dan diri sendiri. Sikap pemaaf merupakn motivasi yang dapat mengubah seseorang agar tidak mempunyai keinginan untuk membalas dendam. Sikap pemaaf juga dapat meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap sahabat yang menyakiti, selain itu sikap pemaaf juga dapat meningkatkan dorongan untuk rekonsiliasi hubungan terhadap sahabat yang menyakiti. Oleh karena itu, sikap pemaaf sebagi hasil dari proses transformasi mempertimbangkan antara memelihara kebencian dan pembalasan.

Sikap pemaaf merupakan suatu fenomena yang menarik, karena sikap pemaaf merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan konflik antar kelompok. Salah satu contoh sikap pemaaf yang sedang marak di Indonesia adalah rekonsiliasi. Secara harfiah, rekonsiliasi berarti mewujudkan kembali hubungan persahabatan atau mengembalikan suasana yang bersahabat (Sutanto, 1998).

Hal yang sama pentingnya dengan pemberian maaf adalah kemauan meminta maaf. Seseorang akan sulit memaafkan jika orang yang bersalah tidak minta maaf dan berupaya memperbaiki kesalahannya. 

Beberapa penelitian menemukan bahwa meminta maaf sangat efektif dalam masalah konflik interpersonal (Ohbuchi dkk, 1989), karena permintaan maaf merupakan sebuah pernyataan bertanggunjawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Droll (1984) menyatakan bahwa memaafkan merupakan bagian dari kemampuan seseorang melakukan komunikasi interpersonal. Proses maaf memaafkan tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja, harus ada orang yang minta maaf dan ada orang yang memberi maaf. Jadi dalam proses maaf memaafkan individu tidak mungkin mengharapkan hanya satu pihak saja yang aktif meminta maaf atau memberi maaf.

Saling memaafkan antara pihak yang terlibat konflik diakui merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi (McCullough, 1998). Bagi sebagian besar orang, sikap saling memaafkan pada orang yang telah melukai perasaannya sangatlah tidak mudah, meskipun perlaku sikap pemaaf sudah diajarkan dan dilatihkan sejak kecil. Saling memaafkan merupakan jalan yang terbaik, walaupun mudah diucapkan, namun memaafkan bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan, ketika seseorang telah dilukai atau dicelakai. Hal tersebut biasanya akan menanamkan perasaan dendam dan ingin membalas.

Idealnya sikap dan perasaan negatif dalam memaafkan harus digantikan dengan sikap dan perasaan positif. Hal yang harus dilakukan adalah usaha keras tidak henti-hentinya dan masing-masing pihak memperbaiki hubungan yang ada dan kerapkali pula dihadapi pada ketegangan pengalaman pahit yang dihadapi. Seorang konselor dari Loyola College, John Garner menyatakan bahwa memaafkan secara dewasa bukan berarti menghapus segala perasaan negatif, jadi sebuah keseimbangan perasaan bukan berarti bersifat saling menghapuskan (Smedes, 1984).

Keinginan untuk berbuat positif bukan berarti menghapuskan perasaan negatif yang pernah ada. Suatu keseimbangan akan dicapai jika yang positif dan negatif berkoeksistensi secara bersama-sama. Hal ini hanya dapat dicapai jika masing-masing individu mampu belajar menyadari bahwa setiap orang mempunyai kekurangan masing-masing. Peristiwa menyakitkan boleh jadi dilakukan oleh seorang teman tetapi mungkin dirinya juga turut berperan atas terjadinya peristiwa tersebut.

Droll (1984) dan O’Shaugnessy (1967) mengemukakan bahwa memaafkan orang yang bersalah membuat perilaku inferior terhadap orang yang telah memaafkannya, dan seseorang memaafkan orang lain karena kemurahan hati dan kasihan terhadap orang yang bersalah. McCullough dkk (1997) menyatakan bahwa memaafkan sebagai seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredam dorongan untuk memelihara kebencian terhadap orang yang menyakiti, serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan terhadap orang yang menyakiti.
Menurut Fitzgibbons (Worthington & Wade, 1999), secara kesehatan memaafkan memberi keuntungan psikologis. Memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah, seperti kasus korban yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu memaafkan dapat mengurangi marah, depresi, dan cemas (Hope, 1987).

Adanya kemauan untuk memaafkan diduga dipengaruhi oleh empati yang dimiliki seseorang karena empati pada diri seseorang memungkinkannya untuk memperbaiki hubungannya dengan orang lain karena empati merupakan salah satu dasar yang dibutuhkan dalam menjalin hubungan interpersonal dan dapat memperlancar komunikasi (McCullough, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Wardhati (2004) membuktikan bahwa salah satu hal yang berpengaruh terhadap perilaku pemberian maaf adalah adanya empati yang dimiliki seseorang. Empati merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap pemaaf berhubungan dengan kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang.

Goleman (1999) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengenali, menyadari dan mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain untuk digunakan secara efektif, membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan, sehingga apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan orang lain dan tidak mudah berprasangka, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Kecerdasan emosi menyebabkan seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, membagi kepuasan dan mengatur suasana hati, sehingga kecerdasan emosi penting dimiliki oleh setiap manusia sebagai makhluk sosial.

Telah diketahui bersama bahwa masa remaja terkenal dengan berkecamuknya berbagai perubahan emosional. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat dari masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi juga tidak lagi mewakili status anak-anak. Pada masa remaja, kelompok individu-individu dikenal memiliki ketidakstabilan dalam emosinya. Bandura (dalam Gunarsa, 1981) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu masa pertentangan dan pemberontakan, karena pada masa ini remaja menunjukkan gejala emosionalnya yang sangat menonjol dan sering dikatakan belum matang. Hal ini tampak pada perilaku remaja yang tidak stabil, mudah tersinggung, egois karena pemikiran dan perhatiannya hanya terpusat pada dirinya, terlalu bersemangat dan kadang pesimis.

Kecerdasan emosi bagi remaja merupakan unsur yang penting untuk memasuki masa dewasa. Kecerdasan emosi akan membantu remaja untuk mengendalikan perilaku dalam menyesuaikan dirinya memasuki gerbang kedewasaan. Remaja yang cerdas emosinya akan dapat mengatasi permasalahan, baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungannya. Adanya dukungan emosi yang matang dan cerdas berpengaruh dalam sosialisasi dengan orang lain yang ditunjukkan dengan adanya perilaku menerima dan mengerti terhadap orang lain atau kelompok lain, dan hal ini akan memudahkan remaja untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Pentingnya kecerdasan emosi dengan sikap pemaaf pada remaja menarik minat peneliti untuk mengangkat ke dalam sebuah penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Sikap Pemaaf Pada Remaja”. Dinamika yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor dalam diri individu dapat menimbulkan sikap pemaaf pada remaja. Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 1 Wirosari, Purwodadi. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa siswa diperoleh keterangan bahwa pernah terjadi perselisihan antara dua kelompok siswa akibat adanya kesalahpahaman, sehingga perselisihan ini berlangsung cukup lama. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa para siswa terutama yang terlibat dalam perselisihan tersebut kurang meliki sikap pemaaf.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan sikap pemaaf pada remaja.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi wahana perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial terutama yang berhubungan dengan remaja. 

2. Manfaat Praktis
Secara praktis jika hipotesis penelitian terbukti bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan sikap pemaaf pada remaja, maka diharapkan agar remaja mampu meningkatkan kecerdasan emosi yang dimiliki sehingga membantu remaja memiliki sikap pemaaf, dan hal ini akan sangat berguna bagi remaja demi terciptanya hubungan sosial yang lebih baik.

Tidak ada komentar: